Suku
Sumbawa yang mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa ini pada masa
pra-Majapahit menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang
berpusat di Lombok, kemudian ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat
pengaruh di Taliwang dan Seran, sedangkan masa Islam adalah masa
penaklukkan Kerajaan Gowa-Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan
Selaparang-Lombok dengan pusat pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian
dipindahkan ke Sumbawa Besar akibat ancaman pencaplokkan Kerajaan
Gelgel-Bali. Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)
Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen Selebes, dan sesuai
pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan
Timor dengan ibukota di Sumbawabesar. Sistem pemerintahan afdeeling
kemudian dijabarkan menjadi onderafdeeling yang terbagi menjadi beberapa
daerah administrasi. Beberapa kampung dibagi menjadi beberapa
lingkungan kekuasaan yang merupakan onderdistrict, dan beberapa
onderdistrict digabung menjadi satu district setingkat kabupaten saat
ini. Penggabungan onderdistrict tidak berlangsung lama kemudian menjadi
onderdistrict yang berdiri sendiri dan berubah menjadi wilayah
kademungan. Wilayah kademungan sekarang berubah menjadi wilayah
kecamatan yang membawahi beberapa desa. Pada masa pemerintahan orde
lama, sistem pemerintahan desa di Sumbawa dipegang oleh seorang gabung
yang dibantu oleh beberapa tau loka karang sebagai penasihat yang
berasal dari setiap kelompok kekerabatan penghuni kampung. Gabung juga
dibantu oleh malar sebagai pengatur dan pembagi air pada lahan
pertanian, dan juga dibantu oleh seorang mandur yang bertindak sebagai
penghubung antara kepentingan masyarakat dengan pemerintahan desa. Pola
perkampungannya berbentuk kelompok rumah, setiap kelompok masih memiliki
ikatan kekerabatan yang disatukan oleh sebuah pagar kampung. Tata
letaknya selalu menyesuaikan dengan pengetahuan masyarakat mengenai urat
tanah yang dalam pelaksanaanya hanya bisa diketahui oleh sandro atau
dukun. Setiap kepala keluarga memiliki tanggung jawab adat membantu
membangun rumah anggota kelompok yang baru secara gotong royong di bawah
komando tau loka karang, demikian konsep itu dirumuskan dengan nama
bayar siru atau balas budi, sehingga anggota kelompok yang melanggar
akan dikucilkan. Konsepsi bayar siru ini masih berlaku hingga sekarang,
terutama di kampung-kampung di daerah pedesaan.
Sekarang
organisasi kemasyarakatan di tingkat desa dimodernisasi menjadi sebuah
desa atau kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah atau kepala desa
yang membawahi beberapa dusun, dan setiap dusun terdapat kelompok warga
yang tergabung dalam rukun warga yang terdiri atas beberapa rukun
tetangga. Sebagai lembaga eksekutif di tingkat desa dibentuklah Badan
Perwakilan Desa, sedangkan tugas malar digantikan oleh Perkumpulan
Petani Pengguna Air (P3A). Masyarakat Sumbawa juga mewarisi pelapisan
sosial dari masa Kesultanan Sumbawa yang ditandai dengan munculnya tiga
golongan, yakni golongan bangsawan yang bergelar dea atau datu, kedua
golongan merdeka atau tau sanak, dan ketiga golongan masyarakat biasa
yang tidak merdeka atau tau ulin abdi. Untuk golongan terakhir ini telah
dihapus semenjak dikeluarkannya dekrit Sultan Muhammad Kaharuiddin III
tahun 1959 saat menjabat sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II
Sumbawa.
Sistem Pengetahuan
Masyarakat
Samawa memiliki sistem pengetahuan yang turun temurun. Untuk obat -
obat tradisional, yang mulanya dari Sanro ( dukun ) misalnya : obat
batuk, yaitu air jeruk nipis dicampur kapur kemudian dioles pada leher,
luka bakar, dioles madu, luka baru diobat dengan serbuk kopi, sarang
laba - laba yang besar, getah jarak ; sakit perut diobati dengan
mengunyah daun jambu muda yang dicampur sedikit garam dll.
Kalau akan memulai turun sawah, petani cukup melihat arah dan letak bintang renggala ( bintang bajak ). Kalau akan melaut dengan melihat warna langit pada malam hari.
Dimasyarakat tradisional ada macam - macam upacara seperti : upacara minta hujan. Masyarakat Samawa mengenal adanya jimat sebagai penolak bala. Pemakaiannya bisa dikalung, diikatkan dipenggang.
Kepercayaan ada sihir pada masyarakat tradisional masih ada, seperti adanya yang disebut loma - lome, bura, pedang pekir dan sebagainya.
Meramal ( ramuka ) merupakan kebiasaan tradisional masyarakat samawa. Meramal nasib, menanyakan hari baik, menemukan barang yang hilang dsb. Mereka juga mengenal apa yang disebut cuca' dengan harapan agar selamat dan tercapai tujuannya.
Kalau akan memulai turun sawah, petani cukup melihat arah dan letak bintang renggala ( bintang bajak ). Kalau akan melaut dengan melihat warna langit pada malam hari.
Dimasyarakat tradisional ada macam - macam upacara seperti : upacara minta hujan. Masyarakat Samawa mengenal adanya jimat sebagai penolak bala. Pemakaiannya bisa dikalung, diikatkan dipenggang.
Kepercayaan ada sihir pada masyarakat tradisional masih ada, seperti adanya yang disebut loma - lome, bura, pedang pekir dan sebagainya.
Meramal ( ramuka ) merupakan kebiasaan tradisional masyarakat samawa. Meramal nasib, menanyakan hari baik, menemukan barang yang hilang dsb. Mereka juga mengenal apa yang disebut cuca' dengan harapan agar selamat dan tercapai tujuannya.
Membahas
tentang karya sastra Sumbawa selalu dikaitkan dengan kehadiran aksara
Kaganga atau Setera Jontal. Satera dalam basa Samawa berarti tulisan,
sedang jontal berati lontar yang menurut PJ. Zoetmulder kata lontar
berasal dari metatesis ron tar atau pohon tar; kata ini diperkirakan
berasal dari bahasa Jawa. Lebih jauh PJ. Zoetmulder menulis bahwa
orang-orang Bali dan Jawa dulu menggunakan pengutik atau pengrupak yaitu
sebilah pisau kecil sebagai alat tulis yang dipakai dalam penulisan
daun lontar. Alat berupa pisau kecil untuk menulis di daun lontar ini
dalam basa Samawa dinamakan pangat yang kemungkinan berasal dari kata
pengot dalam bahasa Jawa.
Aksara
Kaganga yang pernah berkembang di Sumbawa dan sekarang mulai diajarkan
lagi di sekolah-sekolah pada tingkat dasar merupakan aksara yang
diadopsi dan diadaptasi dari aksara Lontara yang berkembang di
Bugis-Makassar. Aksara Lontara ini dulunya mendapat pengaruh dari aksara
Pallawa yang mulai digunakan untuk menulis sejumlah prasasti di
Indonesia semenjak pertengahan abad ke-8 Masehi, namun kemudian aksara
Lontara ini disederhanakan oleh seorang syahbandar dari Kerajaan
Goa-Makassar bernama Daeng Pamatte pada abad ke-16 Masehi.
Aksara
Lontara diperkirakan masuk ke Sumbawa ketika berakhirnya masa kekuasaan
Kerajaan Hindu di Utan pada awal abad ke-17 Masehi. Aksara ini setelah
diadaptasikan dengan kondisi lingkungan Sumbawa, kemudian dikenal dengan
nama Satera Jontal atau aksara Kaganga. Pengaruh aksara Lontara dalam
aksara Kaganga ini dapat dilihat dari bentuk dan cara menuliskannya yang
sama seperti cara mengerjakan aksara Lontara dari sumber asalnya yakni
Bugis-Makassar.
Para
sastrawan Sumbawa dulu mengabadikan karya-karyanya dengan
menulisakannnya di daun lontar yang telah dikuningkan dengan kunyit,
lebar daun lontar ini sekitar 2 cm dengan panjang 12 cm, cara
menuliskannya dengan menggores daun lontar tersebut menggunakan ujung
pangat atau sejenis pisau kecil. Tulisan-tulisan ini kemudian
dikumpulkan dalam sebuah bumung atau buk.
Karya
sastra sebagai sebuah proses kreativitas merupakan kristalisasi dari
segala segi kehidupan yang melingkupi seorang pujangga, sehingga selain
seorang pujangga dituntut untuk memiliki kemampuan menanggapi sebuah
realitas kehidupan di sekelilingnya, harus pula mampu berkomunikasi
dengan realitas tersebut untuk membangun kembali realitas lewat
kreativitas yang dimilikinya, sehingga karya-karya ciptaannya dapat
memberikan gambaran yang ideal tentang realitas yang dicermatinya, serta
berperan sebagai media komunikasi budaya antara masyarakat dan pujangga
sebagai pencipta karya-karya sastra tersebut.
Dengan
menyimak hasil-hasil karya sastra Sumbawa, maka dapat diambil beberapa
konsep dasar tentang nila-nilai yang dikandung di dalamnya, bagaimana
masyarakat Sumbawa memandang realitas kehidupan di sekitarnya, kemudian
merumuskannya ke dalam konsep yang diyakini dan diwujudkan dalam sikap
dan tindakan mereka. Karya-karya sastra Sumbawa kebanyakan menggenggam
amanat berupa nasihat yang bertolak pada ajaran pendidikan dan keimanan
yang ditopang oleh kuatnya adat-istiadat, seperti yang tertuang dalam
bentuk lawas (puisi), ama (peribahasa), panan (teka-teki), dan tuter
(dongeng) yang sangat kental dengan pesan moralitas, agama, dan etika
pergaulan hidup.
Pada
umumnya karya-karya sastra Sumbawa ini cukup sulit untuk digali,
diinventarisasi, dan dicatat, maupun dicari naskah-naskahnya, karena
proses pewarisannya dilakukan dengan cara lisan serta turun-temurun dari
para generasi pendahulu ke anak keturunanya melalui perjalanan waktu
yang sangat panjang dan melewati proses budaya yang rumit, namun
demikian dapat dipahami bahwa lawas merupakan akar atau induk dari
segala bentuk kesenian dan tradisi Sumbawa, baik seni musik, tari,
maupun adat-istiadat yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat
seperti tampak dalam sekeco, tari mata rame, permainan rakyat barapan
kebo dan barapan ayam, serta tradisi daur kehidupan semisal nyorong dan
barodak.
Bahasa
Suku
Sumbawa adalah campuran kelompok etnik-etnik pendatang yang telah
membaur dengan kelompok etnik pendatang yang lebih dahulu mendiami bekas
wilayah Kesultanan Sumbawa, sehingga melahirkan kesadaran akan
identitas budaya sendiri yang dicirikan dengan kehadiran bahasa Sumbawa
atau basa Samawa sebagai bahasa persatuan antaretnik yang mendiami
sebagian pulau ini.
Mahsun
(2002) dalam Prospek Pemekaran Kabupaten Sumbawa mencatat bahwa sebelum
bahasa Sumbawa purba (prabahasa Sumbawa) pecah ke dalam empat dialek
yang ada sekarang ini, terlebih dahulu pecah ke dalam dua dialek, yaitu
pradialek Taliwang-Jereweh-Tongo dan dialek Sumbawabesar atau cikal
bakalnya disebut dialek Seran. Kemudian variasi ini berkembang seiring
perjalanan waktu hingga memasuki fase historis, pradialek
Taliwang-Jereweh-Tongo pecah lagi menjadi tiga dialek yang berdiri
sendiri.
Dalam
bahasa Sumbawa saat ini dikenal beberapa dialek regional atau variasi
bahasa berdasarkan daerah penyebarannya, di antaranya dialek Samawa,
Baturotok atau Batulante, dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah
pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen yang dulunya dialek Selesek,
serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek
Taliwang, Jereweh, dan dialek Tongo.
Dalam
dialek-dialek regional tersebut masih terdapat sejumlah variasi dialek
regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang menandai bahwa betapa
Suku Sumbawa ini terdiri atas berbagai macam leluhur etnik, misalnya
dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar keturunan
etnik Bajau sangat berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh
komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang merupakan keturunan etnik
Mandar, Bugis, dan Makassar.
Interaksi
sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa
menuntut hadirnya bahasa yang mampu menjembatani segala kepentingan
mereka, konsekuensinya kelompok masyarakat yang relatif lebih maju akan
cenderung mempengaruhi kelompok masyarakat yang berada pada strata di
bawahnya, maka bahasapun mengalir dan menyebar selaras dengan
perkembangan budaya mereka. Dialek Samawa atau dialek Sumbawabesar yang
cikal bakalnya merupakan dialek Seran, semenjak kekuasaan raja-raja
Islam di Kesultanan Sumbawa hingga sekarang dipelajari oleh semua
kelompok masyarakat Sumbawa sebagai jembatan komunikasi mereka, sehingga
dialek Samawa secara otomatis menempati posisi sebagai dialek standar
dalam bahasa Sumbawa, artinya variasi sosial atau regional suatu bahasa
yang telah diterima sebagai standar bahasa dan mewakili dialek-dialek
regional lain yang berada dalam bahasa Sumbawa. Dialek Samawa ini lebih
lanjut disebut basa Samawa.
Sebagai
bahasa yang dominan dipakai oleh kelompok-kelompok sosial di Sumbawa,
maka basa Samawa tidak hanya diterima sebagai bahasa pemersatu
antaretnik penghuni bekas Kesultanan Sumbawa saja, melainkan juga
berguna sebagai media yang memperlancar kebudayaan daerah yang didukung
oleh sebagian besar pemakainya, dan dipakai sebagai bahasa percakapan
sehari-hari dalam kalangan elit politik, sosial, dan ekonomi, akibatnya
basa Samawa berkembang dengan mendapat kata-kata serapan dari bahasa
asal etnik para penuturnya, yakni etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima,
Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang),
Kalimantan (Banjarmasin), Cina (Tolkin dan Tartar) serta Arab, bahkan
pada masa penjajahan basa Samawa juga menyerap kosa kata asing yang
berasal dari Portugis, Belanda, dan Jepang sehingga basa Samawa kini
telah diterima sebagai bahasa yang menunjukkan tingkat kemapanan yang
relatif tinggi dalam pembahasan bahasa-bahasa daerah.
Kesenian
Masyarakat
Suku Sumbawa atau Tau Samawa membuat barang-barang kerajinan seperti
romong atau bakul nasi, kursi rotan, ampat atau kipas, menenun kain
tradisonal akhir-akhir ini mulai ditinggalkan orang.
Seni
kelingking adalah istilah seni rupa daerah Samawa. Artinya, membuat
ornamen atau hiasan pada suatu benda tertentu dengan menggunakan tekhnik
menghias. Hasilnya, berupa langit kelingking, kre alang, tabola, peti
kayu berhias, gerbah dan sebagainya.
Bentuk seni ini sudah berlangsung lama. Mendapat pengaruh Hindu dengan motif hias tumbuhan dan selanjutnya pengaruh islam.
Berbagai bentuk corak hiasan kelingking yang dikenal di tana Samawa adalah : lonto engal ( ragam sulur ), kemang satange ( ragam bunga) pohon hayat, pucuk rebung, gelambok, slimpat ( jalinan ), naga, burung, manusia dan binatang ( sapi, kuda, kerbau dan sebagainya )
Ragam hias seni kelingking bagi masyarakat Samawa mempunyai makna tertentu. Slimpat melambangkan percintaan dan kerukunan. Piyo ( burung ) berlambang roh nenek moyang. Pohon hayat sebagai lambang kehidupan manusia. Manusia sebagai berlambang kerakyatan. Naga, lambang kesuburan dan cecak lambang penangkal kejahatan.
Hasil - hasil seni kelingking pada masyarakat Samawa diantaranya adalah : kain untuk bahan pakaian, gorden, sprai, aneka meubel rumah tangga, benda - benda gerabah, tas, kipas, topi, kaos oblong, gantungan kunci, plakat dll.
Lukisan Samawa mewakili sebuah pola / tipe pencapaian budaya kekuatan kreatif dan rasa estetis tau samawa. Lukisan samawa telah berkembang melalui panjangnya sejarah Tanah Samawa sejak Zaman Hindu, Islam dan Modern sekarang ini. Lukisan pertama dari tau Samawa ditemukan pada dinding kubur sarkofagis Ai Renung dengan ragam hias manusia biawak yang dibuat ribuan tahun silam.
Dalam perkembangannyanya lukisan-lukisan Samawa mewarisi tradisi keindahan pada batu - batu nisan berukir yang dijumpai di Telebir, pada tiang - tiang rumah, dinding rumah dll.
Lukisan - lukisan Samawa, berkaitan lebih banyak dengan kehidupan tumbuhan dan binatang dan juga kehidupan sehari - hari rata - rata Tau Samawa serta aspirasi dan impian mereka. Penuh warna dan hidup, serta bebas dari pengekangan biasa yang berlaku. Warna - warna merah, kuning, hitam, hijau dan merah muda ( beko ). Umumnya lukisan bunga diberi warna merah dan kuning dengan daun berwarna hijau.
Bentuk seni ini sudah berlangsung lama. Mendapat pengaruh Hindu dengan motif hias tumbuhan dan selanjutnya pengaruh islam.
Berbagai bentuk corak hiasan kelingking yang dikenal di tana Samawa adalah : lonto engal ( ragam sulur ), kemang satange ( ragam bunga) pohon hayat, pucuk rebung, gelambok, slimpat ( jalinan ), naga, burung, manusia dan binatang ( sapi, kuda, kerbau dan sebagainya )
Ragam hias seni kelingking bagi masyarakat Samawa mempunyai makna tertentu. Slimpat melambangkan percintaan dan kerukunan. Piyo ( burung ) berlambang roh nenek moyang. Pohon hayat sebagai lambang kehidupan manusia. Manusia sebagai berlambang kerakyatan. Naga, lambang kesuburan dan cecak lambang penangkal kejahatan.
Hasil - hasil seni kelingking pada masyarakat Samawa diantaranya adalah : kain untuk bahan pakaian, gorden, sprai, aneka meubel rumah tangga, benda - benda gerabah, tas, kipas, topi, kaos oblong, gantungan kunci, plakat dll.
Lukisan Samawa mewakili sebuah pola / tipe pencapaian budaya kekuatan kreatif dan rasa estetis tau samawa. Lukisan samawa telah berkembang melalui panjangnya sejarah Tanah Samawa sejak Zaman Hindu, Islam dan Modern sekarang ini. Lukisan pertama dari tau Samawa ditemukan pada dinding kubur sarkofagis Ai Renung dengan ragam hias manusia biawak yang dibuat ribuan tahun silam.
Dalam perkembangannyanya lukisan-lukisan Samawa mewarisi tradisi keindahan pada batu - batu nisan berukir yang dijumpai di Telebir, pada tiang - tiang rumah, dinding rumah dll.
Lukisan - lukisan Samawa, berkaitan lebih banyak dengan kehidupan tumbuhan dan binatang dan juga kehidupan sehari - hari rata - rata Tau Samawa serta aspirasi dan impian mereka. Penuh warna dan hidup, serta bebas dari pengekangan biasa yang berlaku. Warna - warna merah, kuning, hitam, hijau dan merah muda ( beko ). Umumnya lukisan bunga diberi warna merah dan kuning dengan daun berwarna hijau.
Sistem Mata Pencaharian
Sumber
penghidupan yang utama bagi tau Samawa umumnya adalah bercocok tanam di
sawah dengan menggunakan peralatan tradisional berupa cangkul atau
bingkung, rengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan
memanfaatkan hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau. Pola bercocok
tanam ini mulanya diperkenalkan oleh orang-orang Jawa Majapahit pada
masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa. Mekanisasi pertanian sekarang ini
mulai tampak pada masyarakat Sumbawa. Pada sejumlah tempat mulai
terlihat pemanfaatan handtractor dan alat-alat modern lain sebagai
pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan lahan-lahan pertanian.
Untuk
menggarap ladangnya atau merau cara-cara tradisional masih dipakai
hingga kini yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah
proses pengolahan untuk ditanami beberapa jenis tanaman pangan. Cara
mendapatkan lahan-lahan pertanian inipun bagitu mudah, tau Samawa dapat
menemukan lahan untuk bertani, berkebun, dan berladang dengan menandai
areal temuannya itu dengan menggantung batu asah atau menanam pohon
tertentu seperti bage, ketimus, dan bungur yang sudah sama-sama dikenal
dan diakui secara konvensi sebagai tanda bahwa lahan itu telah menjadi
milik seseorang dan sekaligus untuk menghindari klaim dari orang lain.
Konsep ini bagi tau Samawa telah dipertegas dalam ungkapan tumpan
aeng-aeng tu tumpan nan tubaeng, artinya orang yang menjumpai ialah yang
memiliki. Ungkapan ini menunjuk pada pemilikan tanah, tempat tinggal
atau areal tertentu yang menjadi miliknya, konsep ini juga berlaku pada
pekerjaan mencari kayu hutan dan nganyang (berburu) dan mencari lebah
madu dengan memberikan tanda silang dengan parang pada pohon di mana
sarang lebah madu itu ada serta mengikatnya dengan lonto (jenis tumbuhan
menjalar). Bagi tau Samawa yang melanggar pantangan ini dan berusaha
mengambil hak orang lain, maka akan menjadi bahan pembicaraan di
mana-mana dan mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila atau orang tak
tahu malu yang sangat menampar harga diri tau Samawa. Masyarakat
Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk
menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo atau lumbung yang dibangun
berdekatan dengan bangunan rumahnya, sedang bagi tau Samawa yang tidak
menyimpan hasil panennya di lumbung, dapat pula memanfaatkan para atau
loteng rumahnya, sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di
bongan atau kolong pada bagian bawah rumah panggungnya.
Menjadi
nelayan merupakan pekerjaan pilihan lain bagi tau Samawa. Peralatan
seperti pancing, kodong dan belat yang berfungsi sebagai perangkap
dimanfaatkan untuk menangkap ikan di sungai ataupun di rawa-rawa,
sedangkan peralatan berupa jaring lebih diutamakan untuk menangkap ikan
di laut. Pekerjaan yang tak kalah pentingnya adalah berburu atau
nganyang dengan menggunakan peralatan tear atau tombak dan poke atau
tombak bermata dua, lamar atau jerat, dan dengan memanfaatkan anjing
pemburu. Nganyang pada umumnya merupakan pekerjaan sambilan yang dipilih
oleh sebagian tau Samawa yang tinggal di sekitar perbukitan, sedangkan
pekerjaan utama mereka adalah meramu hasil-hasil hutan untuk dijadikan
bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak atau pucuk-pucuk rotan,
serampin atau sari batang enau, madu lebah, jamur-jamuran, dan
akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional. Masyarakat
Sumbawa beternak kuda, sapi, dan kerbau. Tau Samawa tidak menambat
hewan-hewan ternaknya, hewan-hewan ini dilepas begitu saja di
padang-padang gembala atau lar, sedangkan untuk menjaga tanaman
pertanian mereka dari serangan hewan ternak, para petani Sumbawa
berusaha memagari sawah dan ladangnya dengan menanami kayu jawa pada
batas lahannya. Pekerjaan menjadi pedagang merupakan pekerjaan pilihan
bagi sebagian kecil orang Sumbawa yang pada awalnya dilakukan oleh
keturunan etnik Arab, Cina, orang-orang Selayar, dan sebagian pendatang
baru dari Jawa, demikian halnya pekerjaan membuat barang-barang
kerajinan seperti romong atau bakul nasi, kursi rotan, ampat atau kipas,
menenun kain tradisonal akhir-akhir ini mulai ditinggalkan orang.
Pekerjaan yang paling membanggakan bagi tau Samawa adalah menjadi
pegawai negeri sipil atau karyawan perusahaan.
Sistem Teknologi dan Peralatan
suku
Tau Samawa atau suku sumbawa telah mengenal teknologi dan juga
peralatan yang digunakan sehari- hari dalam menjalani aktivitas
kehidupan mereka.
a Senjata
Tercatat
sejumlah senjata tajam yang menjadi bagian dari identitas budaya
daerah. Mulai dari keris, pedang, berang, bate, ladeng, badik, dangko (
arit ) disamping tombak, pana dan jenis - jenis lainnya.
Mengikatkan parang panjang di peinggang ketika akan kesawah atau ladang bagi lelaki Samawa adalah pemandangan yang biasa kita lihat sehari - hari didesa - desa Samawa. Parang sumbawa yang panjang dilengkapi dengan sarung dari kayu yang indah dan berhias.
Mengikatkan parang panjang di peinggang ketika akan kesawah atau ladang bagi lelaki Samawa adalah pemandangan yang biasa kita lihat sehari - hari didesa - desa Samawa. Parang sumbawa yang panjang dilengkapi dengan sarung dari kayu yang indah dan berhias.
Peralatan hidup
Pada
umumnya peralatan hidup mereka berupa peralatan tradisional yang
menggunakan cangkul atau bingkung, rengala, dan kareng sebagai peralatan
bajak. Menjadi nelayan merupakan pekerjaan pilihan lain bagi tau
Samawa. Peralatan seperti pancing, kodong dan belat yang berfungsi
sebagai perangkap dimanfaatkan untuk menangkap ikan di sungai ataupun di
rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa jaring lebih diutamakan untuk
menangkap ikan di laut. Pekerjaan yang tak kalah pentingnya adalah
berburu atau nganyang dengan menggunakan peralatan tear atau tombak dan
poke atau tombak bermata dua, lamar atau jerat, dan dengan memanfaatkan
anjing pemburu.
c Alat Musik
Kehidupan
seni tradisional mendapat tempat di hati masyarakat Tana Samawa,
terutama yang berdomisili di pedesaan. Musik orkestra samawa yang
disebut Gong Genang sangat populer di masyarakat. Gong Genang terdiri
dari sebuah gong, dua buah genang ( gendang ) dan sebuah serune. Serune
dalam orkestra Gong genang berfungsi sebagai pembawa
melodi Sejumlah musik daerah yang dihayati masyarakat pendukungnya
antara lain : Ratib ( Rabana Ode dan Rabana Rea /Kebo ), Bagenang,
Sakeco, Langko, Saketa, Gandang, Bagesong dsb. Dari lirik - lirik lawas
telah diangkat kepermukaan sejumlah lagu yang berirama daerah dengan
iringan instrumen alat - alat musik modern. Lagu khas daerah Samawa
sudah banyak dilagukan dalam berbagai kesempatan upacara dan acara
perhelatan perkawinan. Dalam bentuk kaset ataupun kepingan CD dan
VCD. Beberapa peralatan musik tradisional Samawa adalah : Serune,
yaitu alat musik tiup. Alat ini termasuk alat musik golongan serofon
yang berlidah, serune dibuat dari dua bahan pokok yaitu bulu ( jenis
bambu kecil ) dan daun lontar. Lolo dan anak lolo dibuat dari bulu,
sedangkan seremung ode dan seremung rea dibuat dari daun lontar yang
digulung dan membentuk cerobong / kerucut. Serune tidak berfungsi
sebagaialat musik yang sakral, karena itu dapat dimainkan oleh siapa
saja yang berminat. Serune dapat memainkan lagu apa saja asal sesuai
dengan nadanya. Kebanyakan lagu - lagu yang dibawakan adalah lawas (
syair Samawa ) yang kebanyakan tidak dikenal siapa penciptanya.
Alat musik tradisional lainnya adalah : Palompong. Di Taliwang ( bagian ano rawi ) disebut garompong. Alat musik ini termasuk alatmusik idiofon. Di jawa yang sejenis dengan alat musik ini adalah gambang. Bahan untuk membuat palompong adalah jenis kayu ringan yang di Sumbawa di sebut kayu kabong, kenangas dan berora. Palompong biasanya di pergunakan dalam permainan orkestra Goa genang, dan berfungsi sebagai alat ritmis. Palompong di pukul dengan menggunakan pemukul yang banyaknya dua buah.
Rebana adalah alat musik yang terbuat dari kayu, kulit, rotan dan kawat. Di sumbawa kayu yang dipakai membuat rebana adalah kayu jepun (kayu kemboja ) dan kulit yang dipakai adalah kulit kambing ( lenong bedes ). Rebana di pergunakan untuk mengiring lawas ( tembangkhas Samawa ) atau dalam bentuk musik orkestra seperti sakeco, saketa dan juga untuk mengiringi tari - tari kreasi.
Cara memainkan rebana ada yang dipukul dengan tangan dan ada yang menggunakan alat pemukul. Cara memainkan ada yang diangkat dan satu tangan memukul, seperti dalam mengiring qasidah, dzikir. Untuk Rebana Rea (besar ) dalam memainkannya diletakkan diatas tanah secara berdiri, satu tangan memegang dan tangan lainnya memukul.
Alat musik tradisional lainnya adalah : Palompong. Di Taliwang ( bagian ano rawi ) disebut garompong. Alat musik ini termasuk alatmusik idiofon. Di jawa yang sejenis dengan alat musik ini adalah gambang. Bahan untuk membuat palompong adalah jenis kayu ringan yang di Sumbawa di sebut kayu kabong, kenangas dan berora. Palompong biasanya di pergunakan dalam permainan orkestra Goa genang, dan berfungsi sebagai alat ritmis. Palompong di pukul dengan menggunakan pemukul yang banyaknya dua buah.
Rebana adalah alat musik yang terbuat dari kayu, kulit, rotan dan kawat. Di sumbawa kayu yang dipakai membuat rebana adalah kayu jepun (kayu kemboja ) dan kulit yang dipakai adalah kulit kambing ( lenong bedes ). Rebana di pergunakan untuk mengiring lawas ( tembangkhas Samawa ) atau dalam bentuk musik orkestra seperti sakeco, saketa dan juga untuk mengiringi tari - tari kreasi.
Cara memainkan rebana ada yang dipukul dengan tangan dan ada yang menggunakan alat pemukul. Cara memainkan ada yang diangkat dan satu tangan memukul, seperti dalam mengiring qasidah, dzikir. Untuk Rebana Rea (besar ) dalam memainkannya diletakkan diatas tanah secara berdiri, satu tangan memegang dan tangan lainnya memukul.
Makanan
Makanan yang mereka konsumsi sehari- hari adalah beras
campur jagung, beras campur kedelai atau beras campur ubi kayu. Tetapi
janganlah kalian berfikir bahwa yang mereka makan tidak memiliki
kandungan gizi atau mereka menderita kelaparan. Berdasarkan ilmu
kesehatan menu makanan pokok yang dikonsumsi warga setempat bisa
dikatakan dapat menunjang kesehatan tubuh terutama mencegah penyakit
diabetes. Selain itu, bahan makanan seperti umbi-umbian,
buyak atau pucuk-pucuk rotan, serampin atau sari batang enau, madu
lebah, jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak
tradisional banyak dimanfaatkan sebagai makanan dan juga obat
tradisional.
Tempat tinggal
Pada
kehidupan masyarakat Sumbawa tradisional, beberapa keluarga inti dapat
tinggal dalam satu rumah panggung, yaitu rumah yang didirikan di atas
tiang kayu yang tingginya berkisar antara 1,5 hingga 2 meter dengan
tipologi persegi panjang, atapnya berbentuk seperti perahu yang terbuat
dari santek atau bambu yang dipotongpotong (kini banyak diganti dengan genting). Pada bagian depan atau peladang dan
bagian belakang dipasang anak tangga dalam hitungan ganjil antara 7, 9,
11 bergantung keperluannya. Adapun tata ruang bagian dalam umumnya
merupakan 3 perpaduan antara bentuk rumah adat Bugis-Makassar yang
dikombinasi dengan arsitektur rumah orang Melayu. Untuk rumah-rumah
panggung di pedesaan lebih disukai menghadap ke timur atau matahari
terbit yang melambangkan kekuatan,
ketabahan, dan harapan limpahan rezeki.
f. Perhiasan
Dalam
kesehariannya kaum perempuan masyarakat Semawa mengenakan kain sarung
bermotif kotak-kotak (tembe lompa) warna hitam dan merah. Bajunya
disebut lamung pene, baju serupa kebaya polos sederhana, berlengan
pendek. Para prianya memakai sarung pelekat, baju lengan panjang, dan
berkopiah.
sumber :http://gokilgila.blogspot.com/2012/01/kebudayaan-suku-tau-samawa-suku-sumbawa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar